Langkah Konkrit Bagi Brand Fashion untuk Menghadapi Perang Dagang

Langkah Konkrit Bagi Brand Fashion untuk Menghadapi Perang Dagang

Beberapa minggu lalu, saya ngobrol dengan teman yang punya brand fashion lokal. Dia cerita, "Duh, perang dagang ini bikin stres. Harga-harga naik, tapi pembeli makin sensitif soal harga. Mau kompetitif tapi takut rugi."

Percakapan itu bikin saya mikir. Banyak brand fashion lokal yang mungkin bingung menghadapi situasi ini. Jadi, saya coba rangkum beberapa hal yang perlu dipahami dan langkah-langkah konkrit yang bisa diambil.

Apa itu Perang Tarif antara Amerika dan China?

Industri manufaktur Amerika di-outsource ke negara lain, misalnya PRC, yang biaya produksinya lebih murah. Akibatnya, semakin sedikit manufaktur yang terjadi di Amerika, terutama untuk produk sederhana seperti baju. Ini mengakibatkan terjadinya trade deficit, artinya Amerika lebih banyak impor barang dari ekspor barang ke China.

Donald Trump menganggap trade deficit ini tidak bagus untuk Amerika. Dia secara mendadak menerapkan tarif dengan tujuan untuk mengurangi trade deficit dan menghidupkan kembali manufaktur Amerika. Ini seperti yang sempat saya ceritakan adalah bagian dari siklus yang terjadi setiap seratus tahun ketika ada perubahan negara adidaya.

Beberapa ekonom memiliki pandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa sebenarnya Amerika adalah pengekspor jasa yang sangat besar melalui perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook. Angka trade deficit barang tidak mempertimbangkan jasa ini. Mereka juga berpendapat bahwa ada banyak cara untuk meningkatkan manufaktur yang tidak se-mendadak penerapan tarif. Terlepas benar atau salah, kebijakan ini sudah terjadi sehingga kita harus mengantisipasinya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Karena trade deficit kita lebih kecil di antara negara pengekspor tekstil, Indonesia awalnya kena tarif 32% ke Amerika. China kena lebih tinggi, Vietnam 46%, Bangladesh 37%, dan Cambodia 49%. Sebenarnya ini bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia, apalagi ketergantungan kita terhadap ekspor ke Amerika masih kecil.

Tetapi, angka tarif ini terus berubah dengan range dari 32-50% sesuai dengan mood harian Donald Trump dan reaksi dari masing-masing negara.

Dalam menghadapi situasi ini, negara pengekspor memiliki dua pilihan. Pertama adalah retaliasi, yaitu menerapkan tarif balik untuk produk Amerika. Ini yang dilakukan China yang langsung mengumumkan penerapan tarif ke Amerika. Trump bereaksi dengan meningkatkan tarif ke China. China lalu menaikkan tarifnya juga. Inilah yang disebut dengan perang dagang.

Pilihan kedua adalah negosiasi, yaitu memberikan Amerika konsesi (keringanan) terhadap tarif produk Amerika ke negara mereka. Vietnam contohnya membuka negosiasi dengan langsung mengumumkan bahwa mereka bersedia menurunkan tarif produk dari Amerika hingga 0%. Trump langsung menyambut dengan mengatakan bahwa dia terbuka untuk diskusi.

Presiden Prabowo sudah memutuskan untuk bernegosiasi dan mengirimkan delegasi ke Amerika. Sekaligus, presiden juga mengumumkan bahwa restriksi impor, seperti TKDN, akan diperingan. Salah satu komplain Amerika adalah penerapan restriksi impor Indonesia yang lumayan kompleks karena banyak penerapan teknis terjadi di level setiap kementerian.

Dampak Langsung dari Perang Dagang terhadap Brand Fashion

Pertumbuhan ekonomi kemungkinan akan melambat karena adanya tambahan faktor ekonomi global. Lebaran kemarin sudah terlihat beberapa indikator bahwa daya beli masyarakat turun. Jika trade war semakin memanas, bisa mengakibatkan resesi global seperti yang terjadi tahun 1930-an.

China, sebagai pengekspor fashion terbesar, akan mengalami overcapacity. Karena barang-barang fashion mereka tidak bisa terkirim ke Amerika, mereka akan mencari negara lain untuk dumping produknya. Bahkan dengan harga di bawah biaya produksi masih mungkin terjadi karena pemerintah China bisa memberikan subsidi ekspor demi menjaga keberlanjutan manufaktur tekstilnya.

ASEAN adalah destinasi tujuan terbesar ekspor China selain Amerika (20% dibanding 13% ke Uni Eropa). Pemerintah China akan agresif bernegosiasi agar produk mereka bisa masuk pasar ASEAN. Ini sudah dimulai dengan tur Xi Jinping ke Kamboja, Vietnam, dan negara ASEAN lainnya.

Jika Trump tidak meringankan tarif untuk negara pengekspor fashion lainnya seperti Bangladesh dan Vietnam, mereka juga akan mencari tempat untuk dumping produk mereka. Akibatnya, akan semakin banyak baju, sepatu, dan produk fashion lainnya yang masuk Indonesia dengan harga jual di bawah harga produksi lokal. Dan ini baru episode pembuka dari perang dagang yang kemungkinan akan berkepanjangan.

Langkah Konkrit untuk Brand Fashion Lokal

Saat di Braaci minggu lalu, ini menjadi salah satu topik yang paling lama didiskusikan. Kami sampai pada beberapa kesimpulan penting.

Pertama, memperkuat brand positioning menjadi sangat penting. Sebagai perbandingan, kami sempat membahas industri beauty yang sudah lebih dulu menghadapi serbuan brand dari China. Terlihat jelas bahwa brand lokal yang bertahan adalah yang memiliki identitas kuat. Wardah misalnya, mereka sejak awal memiliki target segmen dan positioning yang jelas dan konsisten. Dalam situasi persaingan harga yang semakin ketat, memiliki nilai unik yang tidak mudah ditiru menjadi kunci bertahan.

Kedua, branding bukan hanya soal marketing, tetapi mencakup seluruh aspek perusahaan—mulai dari kompetensi SDM, proses kerja, teknologi, hingga produk yang dihasilkan. Semua ini harus sejalan untuk memenuhi "brand promise" yang dijanjikan ke konsumen.

Shidiq berbagi pengalaman menarik tentang bagaimana Geoff Max berhasil menaikkan level perusahaan ke tingkat berikutnya dengan mengadopsi best practice manajemen dari korporasi besar. Mereka memulai dengan meningkatkan kompetensi SDM, karena merekalah yang akan melakukan transformasi. Kemudian proses perencanaan dan pembukuan dirapikan. Implementasi sistem ERP (Enterprise Resource Planning) juga dilakukan agar keputusan bisnis bisa diambil berdasarkan data akurat dan proses dapat dijaga konsistensinya.

Di tengah gempuran produk murah dari luar, brand lokal perlu fokus pada nilai tambah yang tidak bisa dengan mudah ditiru oleh kompetitor asing: pengalaman autentik, cerita lokal yang kuat, layanan personal, dan hubungan dekat dengan komunitas lokal. Sementara produk impor mungkin menawarkan harga lebih murah, mereka tidak bisa menawarkan keunikan dan kedekatan dengan budaya lokal yang dimiliki brand Indonesia.

Brand lokal juga perlu mempertimbangkan diversifikasi channel penjualan. Marketplace online akan menjadi sasaran utama produk dumping, sehingga memiliki channel sendiri—baik online maupun offline—menjadi semakin penting. Ini memungkinkan brand untuk membangun hubungan langsung dengan konsumen loyal dan mendapatkan data berharga untuk pengembangan produk dan strategi.

Menavigasi Masa Depan yang Tidak Pasti

Sebenarnya banyak sekali yang kami diskusikan, dan mungkin perlu ada sesi lanjutan untuk membahas langkah-langkah berikutnya. Tapi satu hal yang jelas: brand fashion lokal harus bersiap menghadapi perubahan lanskap persaingan yang signifikan.

Perang dagang ini bukanlah badai sesaat, melainkan pergeseran tektonik dalam perdagangan global. Brand yang bisa beradaptasi dan memiliki identitas kuat akan bertahan, sementara yang hanya mengandalkan harga murah akan tergilas oleh produk impor.

Kekuatan Kolaborasi di Tengah Krisis

Satu pelajaran penting yang sering terlupakan: di masa krisis, kolaborasi jauh lebih kuat daripada kompetisi. Brand lokal perlu mulai berpikir tentang bagaimana bisa bekerja sama menghadapi gelombang produk impor yang akan datang. Ini bukan saatnya untuk saling sikut atau melihat sesama brand lokal sebagai kompetitor utama.

Kolaborasi bisa mengambil berbagai bentuk: berbagi informasi rantai pasok, penggabungan kekuatan untuk negosiasi dengan supplier, kampanye bersama untuk mendorong kesadaran produk lokal, atau bahkan co-branding untuk menarik perhatian pasar. Dengan menggabungkan kekuatan, brand lokal bisa menciptakan ekosistem yang lebih tangguh dan berdaya saing.

Kita sudah melihat ini berhasil di berbagai industri. Di Jepang, ketika menghadapi krisis, perusahaan-perusahaan kecil justru membentuk keiretsu—jaringan bisnis yang saling mendukung. Di Italia, distrik industri seperti di Prato (fashion) dan Sassuolo (keramik) berhasil bertahan menghadapi gempuran produk murah dengan berkolaborasi dalam inovasi dan pemasaran.

Ketika semua orang panik melihat gelombang besar, yang paling bijak adalah tidak melawan arus sendirian, tapi belajar berselancar di atasnya bersama-sama. Brand fashion lokal yang gesit, kreatif, kolaboratif, dan mengenal dalam konsumennya bukan hanya akan selamat dari perang dagang ini—mereka bisa keluar sebagai pemenang dengan identitas yang semakin kokoh.

Seperti kata pepatah kuno: "Bukan badainya yang harus kita takuti, tapi ketidaksiapan layar kita untuk menghadapinya." Saatnya kita semua merapikan layar, memperkuat kapal, bergandengan tangan, dan bersiap mengarungi samudera baru perdagangan global bersama-sama.

Read more