Entrepreneur atau Sutradara? Keduanya bisa belajar dari cara Angga Sasongko melakukan Syuting Film.

Entrepreneur atau Sutradara? Keduanya bisa belajar dari cara Angga Sasongko melakukan Syuting Film.


Beberapa pekan lalu, saya diajak oleh master story teller Angga Sasongko untuk menemaninya begadang dalam syuting adegan terakhir di 13 Bom. Selain merasakan emosi, ketegangan, dan kegembiraan produksi, saya mengamati banyak kesamaan antara proses kerja seorang sutradara dengan wirausaha.

Tiba di lokasi sekitar pukul sebelas malam, saya melihat deretan ruko tua di jalan yang terang benderang oleh billboard elektronik sepanjang jalur MRT. Tidak ada banyak mobil atau orang, kecuali para kru film yang sibuk mengatur set lokasi.

Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah seberapa banyaknya usaha kecil menengah yang menjadi mitra dalam proses produksi ini. Ada ahli dalam menciptakan ledakan, ahli dalam penggunaan senjata, mitra syuting kamera yang bergerak di atas mobil, mitra logistik, mitra talenta, dan masih banyak lagi. Saya sebut mitra bukan karyawan karena mereka bukan pegawai tetap Visinema, melainkan vendor untuk berbagai production house dan pembuatan iklan.

Bagaimana Angga dapat menyatukan mereka untuk membentuk tim yang solid, padahal waktu produksi film tidak sampai dua bulan?

Naskah menjadi pedoman mewujudkan cerita dipahami untuk segmen pasar yang dituju

Proses pertama dalam pembuatan film adalah penulisan cerita,yang ternyata memakan waktu lebih lama daripada produksinya sendiri. Bisa berbulan-bulan, bahkan kalau dihitung dari cikal bakal yang tersimpan di kepala, bertahun-tahun.

Dalam proses ini target penonton harus jelas, apakah keluarga, gen-z, laki-laki, perempuan, dan kelas sosio ekonomi. Tidak jarang lembaga riset digunakan untuk menganalisa data dan trend yang ada agar cerita relevan saat rilis.

Hasil tulisan kemudian diwujudkan dalam naskah yang menjadi panduan produksi yang sangat rinci. Rincian naskah menjadi penting karena kisah yang ditulis harus terwujud melalui kata-kata, gerakan, dan efek yang dapat memikat penonton.

Tapi, naskah awal sifatnya tidak kekal. Komunikasi dan iterasi mengenai cerita akhir terus terjadi di lapangan. Saya melihat Angga menggunakan naskah tapi juga menambah penjelasan apa yang diinginkannya dari adegan tertentu pada malam itu.

Kejelasan visi ini adalah sesuatu yang penting bagi setiap usaha. Semakin detil dan terdokumentasi, maka semakin mudah untuk melibatkan mitra. Dan pastinya tidak semua akan berjalan sesuai rencana, sehingga harus cepat mengkomunikasikan perubahan yang diinginkan.

Sebagai entrepreneur yang ingin merintis sebuah bisnis, kita juga harus bisa menjadi master storyteller yang tahu audiens kita siapa. Mimpi apa yang kita ingin wujudkan, dan apa saja bab-bab cerita untuk bisa sampai ke sana. Dan, visi tersebut harus dituliskan dalam sebuah rencana bisnis yang detil.

Beberapa tahun terakhir saya investasi di usaha kecil menengah. Ada yang cafe, restoran, fesyen, pabrik kecil, dan lain-lain. Saat pertama kali bertemu mereka, hal yang saya sering temukan adalah mereka belum membuat rencana bisnis yang detil. Mungkin kalau satu dua halaman secara umum ada, tetapi banyak sekali hal terlewat.

Produk atau jasa apa yang di jual? Target pasar yang dituju siapa? Apakah perempuan muda yang ingin baju santai atau laki-laki kantoran gen z yang ingin tampil trendy? Apa saja merek lain yang tersedia untuk segmen tersebut? Apa yang menjadi pembeda brand kita? Lalu bagaimana kita akan mendapatkan pembeli-pembeli awal? Biaya berapa yang perlu kita keluarkan untuk produksi? Bagaimana menjamin agar kualitas produksi konsisten? Lalu proyeksi laba rugi bagaimana selama dua tahun kedepan? Apakah ada investasi besar yang perlu kita siapkan dari sekarang?

“Naskah” bisnis yang tadinya satu dua halaman bisa menjadi sepuluh sampai dua puluh halaman setelah para UKM ini menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Pemimpin dan tim di belakang layar yang turun langsung ke lapangan untuk melakukan iterasi

Malam itu, Angga mengatur semua aktivitas dari pojokan gang di antara ruko-ruko, ditemani kursi sutradara, laptop, dan beberapa monitor yang menampilkan hasil rekaman dari setiap sudut kamera.

Tapi sering kali ketika kamera berhenti merekam, Angga keluar dari pojoknya itu untuk berbicara dengan para kru produksi. Ia menjelaskan apa yang kurang dan apa yang sudah bagus. Untuk beberapa adegan yang kritikal bahkan Angga sendiri yang turun tangan mengoperasikan kamera. Atau terkadang langsung melakukan editing di tempat.

Di lokasi, saya juga melihat tim penulis yang hadir meskipun tugas mereka sebenarnya sudah selesai. Atau bahkan anggota Tim Pengeditan yang bahkan belum mulai benar benar bekerja. Mereka tetap berada di lokasi mengikuti proses produksi dan berdialog aktif dengan Angga untuk memberikan masukan atau ide.

Beberapa waktu lalu saya sedang mentoring seorang wirausaha restoran di sebuah mall di Jakarta tempat outlet baru mereka. Saya tanya bagaimana bisnis mereka dibanding kompetitornya, kebetulan ada satu restoran dengan konsep mirip di lantai lain mall itu. Berapa perbandingan pengunjung per hari yang datang? Ternyata mereka pun belum tahu. Saya lalu ajak mereka untuk ngopi di cafe depan kompetitor itu, lalu bersama sama kita menghitung jumlah pengunjung outlet kompetitor dalam jam makan siang.

Mereka agak kaget, tetapi saya lebih kaget. Saya cerita ke mereka bahwa saat Gopay menjadi pionir pembayaran QR di Indonesia, saya sendiri sebagai direktur utama mencoba menjadi kasir McDonald’s untuk melihat sudut pandang berbeda. Apalagi McD terkenal dengan pelayanan cepat, jadi QR pun harus mudah digunakan dan dipakai oleh karyawan.

Penulis uji coba pembayaran Gopay QR

Di dalam wirausaha, saya sering bertemu dengan seorang entrepreneur yang sering mengeluh tentang masalah di kantor cabang. Namun, ketika saya pergi ke cabang tersebut, manajer cabang mengungkapkan bahwa bos tersebut hampir tidak pernah berkunjung. Inspirasi dan perubahan hanya dapat diturunkan ke bawah jika pimpinannya juga mau turun ke lapangan.

Menantang diri untuk naik kelas nasional maupun internasional

Dalam film-nya kali ini, Angga mengambil risiko dengan menggunakan senjata sungguhan pada adegan tembak-menembak. Harga setiap peluru yang ditembakkan tidak kecil. Ini pertama kalinya Visinema bekerja sama dengan mitra penyedia peluru kosong kelas Hollywood.

Beratnya senapan AR-15 terlihat dari gerakan para pemeran saat menggunakan senjata tersebut. Salah satu aktor pemeran adegan aksi bercerita kepada saya bahwa suara letupan peluru yang meledak di dekat kepala sering membuatnya bingung sejenak. Proses penggantian peluru dan penembakan membutuhkan latihan berulang kali. Setiap sesi syuting membuat badan terasa pegal-pegal.

Tapi para aktor merasa tertantang karena dalam setiap produksi film baru, Angga selalu mendorong mereka untuk bisa naik ke standar Hollywood. Keinginan untuk naik kelas ini tidak hanya ada pada aktor, tetapi juga pada kameramen, efek khusus, dan penulis. Jika semua mitra produksi naik kelas, saya yakin perfilman Indonesia juga akan naik kelas.

Wirausaha juga perlu selalu memperhatikan trend global yang bisa menaikkan kelas mereka, bisa di negara lain yang memiliki standar ukm lebih tinggi atau di Indonesia. Caranya misalnya dengan bergabung ke kompetisi dengan standar internasional. Misalnya untuk wirausaha petani biji kopi dengan mengikuti kompetisi dengan standar internasional. Biji kopi specialty di nilai di kompetisi Cup of Excellence berdasarkan rasa, aroma, konsistensi, dan berbagai faktor lainnya.

Tahun lalu, pemenang dari Indonesia adalah kopi arabika dari Aceh Gayo milik petani Bahagia Ginting, yang mendapatkan skor 90.59. Harga biji kopi dengan skor di atas 87 bisa mendapatkan rata-rata harga 29 dollar per pound dengan pembeli dari Jepang hingga Eropa.

Merayakan setiap kemenangan kecil tanpa lelah

Setelah adegan terakhir berhasil direkam sesuai harapan, Angga mengumpulkan semua pemeran dan kru. Ia memberikan pidato singkat mengenai kebanggaannya atas pencapaian semua orang yang terlibat. Sedikit mengenang perjalanan suka dan duka dalam proses produksi, dan diakhiri dengan ritual mencoret adegan terakhir di papan.

"It's a Wrap!" Semua yang hadir bersorak dan bertepuk tangan dengan lega. Angga meluangkan waktu untuk memeluk dan berterima kasih kepada semua orang yang hadir. Malam yang panjang berakhir dengan senyum, tangis bahagia, dan pelukan.

Pada saat syuting selesai, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi tapi tidak ada rasa capek atau ngantuk. Energi positif dan semangat dari awal hingga akhir syuting.

Penutupan syuting 13 Bom

Menjalankan sebuah wirausaha bukan sesuatu yang mudah. Saya sering bertemu wirausahawan yang mengeluh lelah mengerjakan hal yang sama bertahun-tahun. Salah satu cara menjaga semangat tim adalah merayakan setiap kemenangan kecil. Pembukaan cabang baru, mendapatkan klien besar baru, atau memenangkan sebuah penghargaan kecil.

Ternyata berbagai aspek dalam proses menulis, mewujudkan, dan memasarkan film ke pasar mirip dengan merintis sebuah bisnis. Bagi pecinta film yang ingin belajar mengenai wirausaha bisa mulai bergabung dengan production house favorit mereka.

Tidur lelap setelah syuting saya secara tak sengaja bermimpi menulis naskah dan terlibat dalam sebuah film laga. Apakah berbekal pengalaman entrepreneurship saya boleh mimpi suatu saat juga merasakan asyiknya proses produksi film?