Be a Great Small: Cara UMKM Jepang menghasilkan brand global

Be a Great Small: Cara UMKM Jepang menghasilkan brand global


Merek-merek Indonesia, terutama yang kecil menengah, bisa mencontoh cara Jepang menghasilkan brand global yang identik dengan kualitas tinggi.

Tahun lalu, delegasi B20 Kadin yang dipimpin Pak Arsjad Rasjid melakukan kunjungan ke Jepang untuk menentukan sektor mana saja yang paling berpotensi bagi UMKM Indonesia untuk ekspor.

Kunjungan pertama kami adalah ke SME Support Japan (SMRJ), Badan Pemerintah Jepang yang bertanggung jawab untuk segmen UMKM. CEO SMRJ, Atsushi Toyonaga, yang setara dengan Menteri UMKM di Indonesia, menemui kami di kantornya - sebuah ruangan besar bernuansa abu abu yang ditata sederhana, ada sofa besar tapi tanpa jendela.

Duduk berhadap hadapan, saya bertanya kenapa jika kita berjalan-jalan di Tokyo, hampir semua restoran tergolong kecil dan dimiliki keluarga. Kebalikannya dengan Amerika dimana sebagian besar adalah cabang dari korporasi besar.

Dia menunjuk ke hiasan dinding di belakangnya, di situ terbaca “Be a Great Small.” .

Poster di dinding kantor CEO SMRJ


Toyonaga-san menjelaskan bahwa produk Jepang terkenal berkualitas tinggi secara global karena budaya UMKM mereka bukanlah tentang memiliki cabang terbanyak atau menjadi perusahaan publik, tetapi tentang menjadi perusahaan “Kecil yang Hebat”, terbaik dalam apa yang mereka lakukan.

Oleh karena itu, katanya, kebanyakan restoran sushi dan yakitori di Jepang, rata rata milik keluarga yang telah dijalankan beberapa generasi. Mereka mungkin hanya memiliki satu atau dua cabang, tetapi untuk makan disana perlu reservasi berbulan-bulan sebelumnya.

Saya penasaran kira-kira apa fondasi dari pemikiran “Kecil yang Hebat” ini? Apa yang bisa diterapkan di Indonesia?

Dari bincang bincang saya dengan Toyonaga-san, saya menyimpulkan ada prinsip Jepang yang cukup fundamental bagi pelaku usaha kecil menengah sebagai acuan kesuksesan.

Menyempurnakan keahlian di dalam karyanya

Istilah Shokunin Kishitsu kurang lebih berarti “mastery of one’s profession”, menggambarkan aspirasi kesuksesan dan kepuasan pribadi yang didapatkan melalui proses penyempurnaan keahlian dalam bidang yang dipilih.

Salah satu contoh paling terkenal bisa dilihat dalam film Jiro Dreams of Sushi. Jiro ono pertama kali mendapatkan sertifikasi menjadi koki sushi pada umur 26 tahun. Empat belas tahun kemudian, Jiro-san baru berani membuka restoran sushi pertamanya di Ginza. Restoran sushi tersebut adalah restoran Michelin tiga bintang, penilaian restoran yang paling terkemuka di dunia.

Film Jiro Dreams of Sushi, 2011

Pada usia sembilan puluh tahun, walaupun sudah menjadi salah satu chef sushi terbaik dunia, Jiro masih setiap hari bekerja keras untuk membuat sushi lebih baik.

“Bahkan pada usia saya, setelah puluhan tahun bekerja, saya merasa belum mencapai kesempurnaan. Saya bahagia setiap hari. Saya cinta membuat sushi. Inilah esensi dari Shokunin”, kata Jiro

Modernisasi tradisi untuk produk masa kini

Banyak wirausaha di Jepang memiliki keterkaitan yang erat dengan tradisi dan warisan budaya Jepang, seperti seni laquerware, keramik, tekstil, atau pengrajin kayu. Tradisi-tradisi ini menekankan pada pengejaran kesempurnaan, penghargaan terhadap bahan alami, dan penyatuan harmonis antara bentuk dan fungsi.

Para pemilik perusahaan ini ingin menjaga dan mempertahankan praktik-praktik tradisional, teknik kuno, dan nilai-nilai budaya dalam kerajinan mereka. Tujuan mereka adalah untuk mewariskan keahlian dan nilai-nilai ini kepada generasi mendatang.

Namun sambil berakar dalam tradisi, mereka juga merangkul modernitas dan inovasi, untuk menciptakan produk yang memenuhi preferensi konsumen yang terus berkembang.

Dengan menggabungkan kerajinan tradisional dengan teknologi terkini dan desain kontemporer, UMKM Jepang ini mampu beradaptasi dengan tuntutan pasar yang berubah sambil tetap mempertahankan esensi dari budaya mereka.

Contoh brand UMKM Jepang yang mendunia

Siapa yang tidak kenal dengan brand besar Jepang seperti Uniqlo. Tetapi Jepang juga adalah asal dari brand-brand seperti Momotaro Jeans, merek jins termahal di dunia. Sepotong jins harganya sekitar US$2,600 dan ada waiting waiting list satu tahun.

Proses Pewarnaan Momotaro Jeans. Foto dari Threesixzero Productions

Mereka menggunakan teknik pewarnaan tradisional Indigo yang menjadi tradisi dari Kojima, di provinsi Okayama, sejak abad ke-10. Untuk membuat sepasang jeans, Momotaro menggunakan lima kain yang masing masing harus melalui proses teknik pewarnaan tersebut sebanyak tiga puluh kali.

Origami, adalah sebuah pembuat filter kopi keramik yang kerap dipakai di kompetisi barista internasional.

Terbuat dari tanah liat minoware, Origami Dripper lahir dari 400 tahun sejarah produksi minoware di wilayah Gifu yang terkenal dengan kertas washi dan keramiknya. Dripper ini terkenal mempunyai dua puluh rusuk yang dilipat sebagai penghormatan kepada seni tradisional dan kreatif Origami yang secara harfiah berarti 'Lipat Kertas'. Produk ini juga kini tersedia di seluruh dunia.

Yuk Indonesia Juga Bisa!

Mungkin karena keragaman etnis dan suku bangsa, saya pikir Indonesia juga memiliki tradisi seni berkarya yang kuat. Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas seni dan kerajinan yang membedakan satu sama lain. Misalnya, batik dari Jawa, ukiran kayu dari Bali, atau anyaman tikar dari Sumatera. Tradisi seni ini diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, menciptakan warisan budaya yang berharga.

Jika wirausaha-wirausaha Indonesia mau merubah definisi sukses seperti di Jepang, “Be a Great Small”, dan menggunakan warisan tradisi seni untuk membuat produk modern, bukan tidak mungkin anyaman, ukiran, dan kain Indonesia yang dicari di mancanegara.